Oleh : Elviriadi Gusar beberapa tokoh Riau menyusul remang remang Kesempatan Menambang Minyak di Blok Rokan menarik perhatian penulis selaku...
Oleh : Elviriadi
Gusar beberapa tokoh Riau menyusul remang remang Kesempatan Menambang Minyak di Blok Rokan menarik perhatian penulis selaku anak negeri.
Makanan sudah terhidang, lauk pauknya enak, tapi jarak kursi ke meja makan tak sampai. Begitu lah kondisi Blok Rokan, menu harian perut bumi Riau yang "memberi makan" perut rakyat se-indonesia. Hati gusar dan gelisah rasa yang lumrah. Sebab sumur sumur itu bukan berisi air gambut tanah redang, melainkan air hitam yang harganya fantastis. Bisa disebut emas cair dari sumur penuh berkah Bumi Lancang Kuning.
Tiba tiba saya teringat pesan arwah aki (kakek) saye dulu, bila mendengar guruh dilangit, air di tempayan dibuang jangan".
Pesan Aki (Kakek) saya itu teraaa relevan dalam kehidupan pribadi saya dan masyarakat Melayu Riau pada umumnya.
Air ditempayan, adalah anugerah Tuhan yang telah kita miliki. Pemberian Allah swt berupa nikmat, pekerjaan atau capaian yang ada, janganlah disia siakan. Jangan pula tidak dimanfaat-kembangkan. Orang bersyukur pandai memanfaatkan apa yang telah sedia ada, sehingga "air ditempayan dibuang jangan".
Tetapi budaya Melayu, sebagaimana tulisan saya terdahulu, kadang suka hidup dalam bayangan mimpi besar, kadang mungkin tak dapat dicapai.
Alam rasa, kuatnya dimensi tersirat, dan hati yang halus, disatu sisi bernilai positif. Namun diera posmodernisme, dimana kompetisi dan kompetensi menjadi syarat mutlak, sifat sifat halus yang demikian tentu akan membuat jauhnya harapan. Karena tak berpijak pada kanvas kenyataan.
Begitulah, akhirnya Propinsi Riau menerima kekalahan demi kekalahan. Sejak Orde Baru, hutan luluh lantak dan berkuah limbah, pada 8 Agustus 2021, harapan Riau merindu Blok Rokan kepunan mati langkah.
Tradisi berfikir over-imajinatif Yong Dolah, tidaklah cukup andal jika berhadapan dengan kompetisi bisnis dimana orang orang sudah menghasilkan triliunan, kita masih menunggu hujan impian.
Bahkan, bak petue (tunjuk ajar) Aki saye, Air di Tempayan Dibuang Jangan, walau guruh dilangit kilat bersambaran. Riau adalah negeri besar, penuh gagasan dan pemikir besar. Ada segunung kaedah menaikkan martabat dan marwah, jika kesempatan Blok Rokan melepas sudah.
Rentang sejarah juang masih panjang jika ingin berjuang. Manfaatkan air ditempayan (profesi, jabatan, pekerjaan, modal dan akal budi Melayu) dengan penuh kesyukuran. Supaya hidup dibimbing akal jernih, hati yang lurus, tidak mudah dibawa hawa nafsu dan manupulasi kebudayaan.
Saya sendiri merasakan, seorang pendidik akademis harus terus memperbaiki kemampuan, mengoreksi pekerjaan, dan mengurus pangkat agar gelar Guru Besar didapatkan. Bukan main berat rasanya, perihal mengurus diri sendiri yang berarti menyelesaikan masalah ke-Riau-an.
Jadi dimana pun anda bertugas, sekecil apapun posisinya, bekerjalah dengak seksama. Jalani Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) karena itu amanah negara, dan tanggung jawab pada keluarga, bangsa dan masyarakat. Jika kita wartawan, polisi, guru, ketua lembaga terhormat, kerjalah pada alur dan patut. Dengan begitulah Riau akan bermartabat-maju, air di tempayan di "pada padakan" (dihemat dan cernat-red).
Ambisi tak pernah selesai, tersebab jiwa manusia tak pernah puas. Jika lubuk blok rokan lepas, maka 1000 "blok rokan" lain sudah menanti. Tak usah bermimpi dan memperkaya ilusi. Ganti dengan kerja keras setiap hari sampai terukir prestasi. "Air Tempayan", di :Blok Rokan"kan Jangan. Tetapi Hembuslah, jadikan ia samudra yang menggelombangkan perahu lancang kuning ke pulau masa depan.
COMMENTS